Senin, 20 Oktober 2014

Campur Tangan Pemerintah dalam Penetapan Harga Dasar Gabah




Pengetahuan tentang kebijakan ekonomi berkenan dengan usaha untuk memaksimalkan atau memenuhi solusi-solusi subyek terhadap pemaksaan, namun pemaksaan-pemaksaan tersebut bukan disediakan oleh sumber-sumber dan penguasaan materi saja, seperti diajarkan dalam buku-buku teks tentang perekonomian dasar, namun juga oleh etika, budaya, sejarah dan politik.
Suatu rancangan untuk strategi pembangunan ekonomi yang berhasil dalam suatu negara Dunia Ketiga yang kontemporer, menurut pendapat beberapa pengamat,di alam ini harus meliputi spesifikasi tentang tiga komponen, yaitu; tujuan-tujuan, atau hasil-hasil yang diinginkan; kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut, dan variabel-variabel kesosialan yang akan mengarahkan pada pilihan oleh para pembuat keputusan pemerintah tentang kebijakan-kebijakan yang benar.

Pada situasi semacam ini, adakah harapan bagi kebijakan pembangunan yang menguntungkan kelompok kelompok non-elit, khususnya kelompok petani, non pegawai negeri Indonesia? Pada intinya lebih nampak variabel politik dibandingkan partisipasi kelompok miskin. Untuk meningkatkan  pembangunan yang menguntungkan memang kelihatanya mudah, namun dalam pelaksanaannya di lapangan ternyata tidak semudah yang dibayangkan, karena faktor-faktor yang lain khususnya politik yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap proses pembuatan kebijakan. Sehingga dengan demikian menurut pengamatan para ahli bahwa dalam rangka proses pembuatan kebijakan itu tergantung pada manusianya yang sedang menjadi petinggi negara atau dalam artian lain bahwa political will dari para administrator harus jelas.
Rekomendasi Kebijaksanaan
Pada awalnya, ketika harga beras meroket sampai 300 persen dalam waktu satu tahun, pemerintah berusaha meningkatkan posisinya dengan mendirikan Bulog. Pada tahun 1966 beras yang diimpor mencapai 640.000 ton, namun hanya 70.000 ton yang dijual bebas di pasar domestik, sementara sisanya dikonsumsi pegawai sipil dan militer. Pada tahun 1967, sekitar 350.000 ton diimpor, 100.000 ton merupakan bantuan pemerintah AS, dan hanya 139.000 ton dijual dijual di pasar domestik. Sampai akhir 1968, pemerintah sudah mampu meningkatkan suplai dan menurunkan harga beras (Liddle).
Sejak pertengahan 1960-an, krisis beras hanya terjadi tahun 1972 sampai 1973. Krisis ini dapat dengan bantuan subsidi pasar. Patokan harga minyak OPEC yang meningkat antara 1974 sampai 1979 membuat pemerintah Indonesia memiliki alat untuk mengimpor beras dalam jumlah yang besar untuk mencegah krisis itu terulang lagi. Koperasi tingkat desa (KUD) menjadi lembaga utama dalam program pengembangan beras domestik. KUD adalah lembaga yang didirikan dan didanai pemerintah yang membeli beras dari petani yang selanjutnya menjual kembali ke bulog (keuntungan KUD berkisar 8 persen) dan menjamin harga dasar gabah bagi petani. Tujuannya adalah untuk memastikan suplai beras dan meningkatkan pendapatan petani. KUD diharapkan mampu menggantikan posisi pedagang cina yang secara tradisional sudah kuat. Sebab KUD merupakan sistem lembaga ekonomi yang diorganisir sebagai usaha bersama yang didasarkan atas prinsip kekeluargaan (family principle).
Di dalam kebijakan Orde Baru jika kita perhatikan tampak adanya perubahan adanya pada subsidi pemerintah untuk meningkatkan produksi yang menekankan program administrasi ke bentuk dukungan pasar. Program subsidi produksi Bimas pada akhir tahun 1960-an meminta semua petani berpartisipasi, dalam pengambilan keputusaan sendiri. Sejak tahun 1973 diterapkan dukungan positif, seperti harga dasar gabah yang naik dan standar kualitas Bulog yang rendah. Ketidaksesuaian terakhir pada aspek khusus kebijakan harga beras menuntut kita untuk mengamati lebih dekat struktur minat dan kekuatan serta dinamika proses kebijakan. Dalam hal ini bisa saja kepentingan petani dimenangkan, namun dalam ketentuan yang lain dapat dikalahkan. Sementara ketentuan yang lain pula menunjukkan ideologi dibalik kebijakan pertanian dalam bidang pertanian dan hubungannya dengan kepentingan yang saaling bertentangan.
Ada tiga kasus dalam kaitannya dengan kebijakan harga dasar gabah di  Indonesia melalui bulog.
Kasus pertama : fokus Bulog terhadap kualitas dan harga dasar petani. Kasus ini merupakan krisis mini yang terjadi selama musim panen di awal 1982. salah satu fokus Bulog saat itu adalah meningkatkan kualitas padi yang dibelinya baik untuk kepentingan pasar Bulog maupun untuk membantu para pegawai negeri agar mendapatkan beras berkualitas. Dengan itu Bulog menentukan tingkat kandungan Butir hijau sebesar 5 % yang akan dibelinya dari KUD untuk musim panen 1981-1982. KUD menentukan kebijaksanaan yang sama jika badan tersebut membeli padi dari petani. Namun dalam perjalanannya ternyata banyak sekali hasil panen padi petani yang ditolak oleh KUD dan dibeli oleh tengkulak dengan harga jauh dibawah harga dasarnya (135 per kilo). Para petani dalam program petani dan petugas KUD mengeluh bahwa batas bulir hijau 50% itu terlalu rendah untuk varietas anti hama yang mereka berikan pada petani, yang biasanya mampu menghasilkan 9-14 % butir hijau. Kemudian kebijakan tadi karena ada keluhan dari petani dan KUD dirubah yaitu batas bulir hijau dari 5% menjadi 10%.
Pada tanggal 17 Mei 1982, dilaporkan bahwa semua petani di seluruh Jawa menjual padinya 50 % lebih rendah dari harga dasar, kemudian pemerintah mengumumkan bahwa “Pemerintah akan membeli semua padi yang dijual petani langsung kepada pemerintah dengan harga dasr namun kualitasnya harus disesuaikan”. Di sini nampak bahwa kebijakan yang paling penting adalah menjaga harga dasarjangan sampai turun.
Kasus Kedua: Konflik Intrabirokrasi dan Insentif Harga Kasus ini adalah adanya pertentangan kecil di akhir 1982 di tingkat harga dasar KUD untuk gabah, yang terakhir dengan harga gabah dari Rp 135,- sampai dengan Rp 145,- per kilo, namun juga disertai dengan kenaikan harga dua input pokok padi, pupuk urea (dari Rp 70,- sampai dengan Rp 90,- per kilo) dan pestisida (dari Rp 1.230,- sampai dengan Rp 1.500,- per liter). Kesempatan untuk menerapkan pendekatan adalah ketika musim tanam, saat dimana para petani harus menentukan apakah akan menanam padi atau tanaman lainnya. Bagi sebagian besar pemerintah Orde Baru pada saat itu, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan harga dasar padi pada saat itu, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan harga dasar padi setiap tahun sebgai insentif bagi petani. Namun demikian dalam sektor padi masih terdapat kelemahan, yaitu kurangnya ruang  gudang, tidak adanya KUD, tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan peningkatan harga dasar gabah. Dengan kejadian tersebut di atas, maka petani telah banyak kehialngan faktor-faktor yang menguntungkan. Namun dari perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa para petani tidak kehilangan pendukung dalam arena pembuatan keputusan yang didominasi oleh birokrasi. Para pejabat di lingkungan pertanian – mungkin sebagai memperwakilkan para petani, dan bahkan HKTI memiliki pengaruh yang cukup besar, paling tidak untuk menciptakan status quo.
Kasus Ketiga : Bisnis Sektor Swasta, Koperasi dan Negaram Kasus tentang padi yang terakhir tidak berisi proses panjang dimana berbagai sisi kita bisa mendorong pandangannya sebelum diambil keputusan, namun hanya berisi keluhan-keluhan dari berbagai pihak yang dirugikan atau ditekan oleh keputusan pemerintah. Keputusan ini dibuat oleh menteri Pertanian dan Menteri Koperasi pada Januari 1983, berfungsi untuk mentransfer dengan tahap-tahap yang diawali dengan musim tahun 1983, didistribusi pupuk dari sektor swasta ke KUD. Pihak pihak yang dirugikan tidak mengungkapkan penderitaannya sampai menjelang akhir Mei.
Kasus pupuk ini mengindikasikan dua tingkat. Tingkat pertama adalah konteks ideologis dimana kedua sisi memaksakan argumennya sendiri-sendiri. Ekonomi orde baru berkembang dengan berlandaskan pada tiga badan institusi : Negara, Sektor Swasta dan Koperasi, yang masing-masing memiliki peran dominan. Dari P2SP dan Kadin menyatakan bahwa keputusan pupuk tersebut tidak dijiwai dengan pembentukan lembaga berimbang. Tugas pemerintah adalah membangun koperasi, namun itu tidak berarti harus membunuh sektor swasta, dan peran koperasi yang tepat adalah sebagai stabilisator harga, suatu senjata melawan dan menundukkan perusahaan-perusahaan swasta yang rakus dan memiliki kekuasaan usaha terlalu besar, dan jika koperasi tidak mengalami persaingan, bagaimana bisa sehat? Tingkat kedua, kasus pupuk menggambarkan keterbatasan wewenang politik atau pengaruh bisnis pertanian swasta, yang secara ekonomis sangat tergantung pada negara. Para pedagang swasta formal, pada dasarnya pelaku monopoli yang diberi wewenang, mereka meiliki pergantian ekslusif dengan Pusri untuk mendapatkan hak-hak distribusi di propinsi tertentu, dimana di dalamnya termasuk orangorang Kadin sendiri
Hirchman, dalam pengamatannya menyatakan bahwa, “Sebagian besar negarnegara Asia menetapkan beras sebagai komoditis utama pertanian dan merupakan komponen penting dalam kebijakan pembangunan umum.” Memang benar bahwa pejabat pemerintah pusat merupakan pengambil kebijakan utama pada bisang pertanian. Namun alat pemerintah pusat ini tidak mendominasi proses kebijakan. Aktor penting lain juga termasuk pejabat daerah; produsen yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir, perantara dan konsumen; anggota DPR, media massa dan komunita intelektual. Pengaruh yang dimiliki kelompok di luar pemegang kekuasaan pada proses pembuatan keputusan sering tidak langsung dan banyak bergantung pada persepsi, keyakinan dan kepentingan kelompoknya.
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas menunjukkan adalah adanya suatu pola dominasi pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan yang diperkuat dengan ideologi korperatif dimana bisnis yang lemah dan sektor koperasi diatur oleh negara, yang nampaknya berpihak pada kepentingan masyarakat. Dari ketiga kasus tadi mnunjukkan suatu pola konflik dalam birokrasi tentang kebijakan-kebijakan tertentu dan implementasinya yang sangat erat dengan perwakilan petani yang efektif dan kepentingan non birokrasi serta kepentingan lokal.
Memang konsekuensi dari ketelibatan pewmerintah yang mengakar dalam penetapan kebijakan harga khususnya beras, sama-sama mengakibatkan keberhasilan dan kegagalan performa pertanian dalam menyumbangkan (potensi) pada negara. Oleh karena itulah sehingga dapat menyebabkan diterapkannya kebijakan harga yang berbeda-beda pada setiap produk/hasil pertanian. Karena kebijakan harga sangat penting dalam menentukan harga produk pertanian khususnya beras selama panen, maka kita perlu mengadakan penelitian harga produk pertanian bukan berdasarkan teori pasar murni tetapi berdasarkan teori negara. Kenapa pemerintah suatu negara menerapkan kebijakan harga produk pertanian yang berbeda yang mengakibatkan pola pengembangan desa dan pertanian saling bertentangan? Dalam hal ini perlu memperhatikan analisis Neoklasik pada pasar yang terdiri dari observasi distorsi harga, menghitung biaya sosialnya, dan perubahan yang terjadi. Sebaliknya distorsi ini harus dipahami menurut realitas sosial dan historis dinamisnya bila usulannya bertujuan untuk melibatkan keterlibatan politisi.
Pola dominasi pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan diperkuat dengan adanya ideologi korporatis dimana bisnis yang lemah dan sektor koperasi diatur oleh negara, yang nampaknya berpihak pada kepentingan masyarakat sehingga suatu pola konflik dalam birokrasi tentang kebijakan-kebijakan tertentu dan implementasikan yang sangat erat dengan perwakilan petani yang efektif dan kepentingan non birokrasi serta kepentingan lokal.



Sumber : Abdullah Said. (2014) Campur Tangan Pemerintah Dalam Penetapan Harga Dasar Gabah. Tersedia : http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/11Campur%2520Tangan%2520Pemerintah%2520Dalam%2520Penetapan%2520Harga%2520Dasar%2520Gab.pdf . 21 Oktober 2014 Jam 13.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar