Pengetahuan
tentang kebijakan ekonomi berkenan dengan usaha untuk memaksimalkan atau
memenuhi solusi-solusi subyek terhadap pemaksaan, namun pemaksaan-pemaksaan
tersebut bukan disediakan oleh sumber-sumber dan penguasaan materi saja,
seperti diajarkan dalam buku-buku teks tentang perekonomian dasar, namun juga
oleh etika, budaya, sejarah dan politik.
Suatu
rancangan untuk strategi pembangunan ekonomi yang berhasil dalam suatu negara
Dunia Ketiga yang kontemporer, menurut pendapat beberapa pengamat,di alam ini harus
meliputi spesifikasi tentang tiga komponen, yaitu; tujuan-tujuan, atau
hasil-hasil yang diinginkan; kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan
tujuan-tujuan tersebut, dan variabel-variabel kesosialan yang akan mengarahkan
pada pilihan oleh para pembuat keputusan pemerintah tentang kebijakan-kebijakan
yang benar.
Pada situasi
semacam ini, adakah harapan bagi kebijakan pembangunan yang menguntungkan
kelompok kelompok non-elit, khususnya kelompok petani, non pegawai negeri
Indonesia? Pada intinya lebih nampak variabel politik dibandingkan partisipasi kelompok
miskin. Untuk meningkatkan pembangunan
yang menguntungkan memang kelihatanya mudah, namun dalam pelaksanaannya di lapangan
ternyata tidak semudah yang dibayangkan, karena faktor-faktor yang lain khususnya
politik yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap proses pembuatan kebijakan.
Sehingga dengan demikian menurut pengamatan para ahli bahwa dalam rangka proses
pembuatan kebijakan itu tergantung pada manusianya yang sedang menjadi petinggi
negara atau dalam artian lain bahwa political will dari para administrator
harus jelas.
Rekomendasi Kebijaksanaan
Pada awalnya,
ketika harga beras meroket sampai 300 persen dalam waktu satu tahun, pemerintah
berusaha meningkatkan posisinya dengan mendirikan Bulog. Pada tahun 1966 beras
yang diimpor mencapai 640.000 ton, namun hanya 70.000 ton yang dijual bebas di
pasar domestik, sementara sisanya dikonsumsi pegawai sipil dan militer. Pada
tahun 1967, sekitar 350.000 ton diimpor, 100.000 ton merupakan bantuan pemerintah
AS, dan hanya 139.000 ton dijual dijual di pasar domestik. Sampai akhir 1968,
pemerintah sudah mampu meningkatkan suplai dan menurunkan harga beras (Liddle).
Sejak
pertengahan 1960-an, krisis beras hanya terjadi tahun 1972 sampai 1973. Krisis
ini dapat dengan bantuan subsidi pasar. Patokan harga minyak OPEC yang meningkat
antara 1974 sampai 1979 membuat pemerintah Indonesia memiliki alat untuk mengimpor
beras dalam jumlah yang besar untuk mencegah krisis itu terulang lagi. Koperasi
tingkat desa (KUD) menjadi lembaga utama dalam program pengembangan beras
domestik. KUD adalah lembaga yang didirikan dan didanai pemerintah yang membeli
beras dari petani yang selanjutnya menjual kembali ke bulog (keuntungan KUD
berkisar 8 persen) dan menjamin harga dasar gabah bagi petani. Tujuannya adalah
untuk memastikan suplai beras dan meningkatkan pendapatan petani. KUD diharapkan
mampu menggantikan posisi pedagang cina yang secara tradisional sudah kuat.
Sebab KUD merupakan sistem lembaga ekonomi yang diorganisir sebagai usaha
bersama yang didasarkan atas prinsip kekeluargaan (family principle).
Di dalam
kebijakan Orde Baru jika kita perhatikan tampak adanya perubahan adanya pada
subsidi pemerintah untuk meningkatkan produksi yang menekankan program
administrasi ke bentuk dukungan pasar. Program subsidi produksi Bimas pada akhir
tahun 1960-an meminta semua petani berpartisipasi, dalam pengambilan keputusaan
sendiri. Sejak tahun 1973 diterapkan dukungan positif, seperti harga dasar gabah
yang naik dan standar kualitas Bulog yang rendah. Ketidaksesuaian terakhir pada
aspek khusus kebijakan harga beras menuntut kita untuk mengamati lebih dekat
struktur minat dan kekuatan serta dinamika proses kebijakan. Dalam hal ini bisa
saja kepentingan petani dimenangkan, namun dalam ketentuan yang lain dapat
dikalahkan. Sementara ketentuan yang lain pula menunjukkan ideologi dibalik
kebijakan pertanian dalam bidang pertanian dan hubungannya dengan kepentingan
yang saaling bertentangan.
Ada tiga kasus dalam
kaitannya dengan kebijakan harga dasar gabah di
Indonesia melalui bulog.
Kasus pertama : fokus Bulog terhadap kualitas dan harga dasar
petani. Kasus ini merupakan krisis mini yang terjadi selama musim panen di awal
1982. salah satu fokus Bulog saat itu adalah meningkatkan kualitas padi yang
dibelinya baik untuk kepentingan pasar Bulog maupun untuk membantu para pegawai
negeri agar mendapatkan beras berkualitas. Dengan itu Bulog menentukan tingkat
kandungan Butir hijau sebesar 5 % yang akan dibelinya dari KUD untuk musim
panen 1981-1982. KUD menentukan kebijaksanaan yang sama jika badan tersebut
membeli padi dari petani. Namun dalam perjalanannya ternyata banyak sekali
hasil panen padi petani yang ditolak oleh KUD dan dibeli oleh tengkulak dengan
harga jauh dibawah harga dasarnya (135 per kilo). Para petani dalam program
petani dan petugas KUD mengeluh bahwa batas bulir hijau 50% itu terlalu rendah
untuk varietas anti hama yang mereka berikan pada petani, yang biasanya mampu
menghasilkan 9-14 % butir hijau. Kemudian kebijakan tadi karena ada keluhan
dari petani dan KUD dirubah yaitu batas bulir hijau dari 5% menjadi 10%.
Pada tanggal
17 Mei 1982, dilaporkan bahwa semua petani di seluruh Jawa menjual padinya 50 %
lebih rendah dari harga dasar, kemudian pemerintah mengumumkan bahwa
“Pemerintah akan membeli semua padi yang dijual petani langsung kepada
pemerintah dengan harga dasr namun kualitasnya harus disesuaikan”. Di sini
nampak bahwa kebijakan yang paling penting adalah menjaga harga dasarjangan sampai
turun.
Kasus Kedua: Konflik Intrabirokrasi dan Insentif Harga Kasus
ini adalah adanya pertentangan kecil di akhir 1982 di tingkat harga dasar KUD
untuk gabah, yang terakhir dengan harga gabah dari Rp 135,- sampai dengan Rp 145,-
per kilo, namun juga disertai dengan kenaikan harga dua input pokok padi, pupuk
urea (dari Rp 70,- sampai dengan Rp 90,- per kilo) dan pestisida (dari Rp
1.230,- sampai dengan Rp 1.500,- per liter). Kesempatan untuk menerapkan
pendekatan adalah ketika musim tanam, saat dimana para petani harus menentukan
apakah akan menanam padi atau tanaman lainnya. Bagi sebagian besar pemerintah
Orde Baru pada saat itu, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan harga
dasar padi pada saat itu, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan harga
dasar padi setiap tahun sebgai insentif bagi petani. Namun demikian dalam
sektor padi masih terdapat kelemahan, yaitu kurangnya ruang gudang, tidak adanya KUD, tidak bisa
diselesaikan dengan kebijakan peningkatan harga dasar gabah. Dengan kejadian
tersebut di atas, maka petani telah banyak kehialngan faktor-faktor yang
menguntungkan. Namun dari perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa
para petani tidak kehilangan pendukung dalam arena pembuatan keputusan yang
didominasi oleh birokrasi. Para pejabat di lingkungan pertanian – mungkin
sebagai memperwakilkan para petani, dan bahkan HKTI memiliki pengaruh yang
cukup besar, paling tidak untuk menciptakan status quo.
Kasus Ketiga : Bisnis Sektor Swasta, Koperasi dan Negaram Kasus
tentang padi yang terakhir tidak berisi proses panjang dimana berbagai sisi kita
bisa mendorong pandangannya sebelum diambil keputusan, namun hanya berisi keluhan-keluhan
dari berbagai pihak yang dirugikan atau ditekan oleh keputusan pemerintah.
Keputusan ini dibuat oleh menteri Pertanian dan Menteri Koperasi pada Januari
1983, berfungsi untuk mentransfer dengan tahap-tahap yang diawali dengan musim
tahun 1983, didistribusi pupuk dari sektor swasta ke KUD. Pihak pihak yang dirugikan
tidak mengungkapkan penderitaannya sampai menjelang akhir Mei.
Kasus pupuk
ini mengindikasikan dua tingkat. Tingkat pertama adalah konteks ideologis
dimana kedua sisi memaksakan argumennya sendiri-sendiri. Ekonomi orde baru berkembang
dengan berlandaskan pada tiga badan institusi : Negara, Sektor Swasta dan Koperasi,
yang masing-masing memiliki peran dominan. Dari P2SP dan Kadin menyatakan bahwa
keputusan pupuk tersebut tidak dijiwai dengan pembentukan lembaga berimbang.
Tugas pemerintah adalah membangun koperasi, namun itu tidak berarti harus membunuh
sektor swasta, dan peran koperasi yang tepat adalah sebagai stabilisator harga,
suatu senjata melawan dan menundukkan perusahaan-perusahaan swasta yang rakus
dan memiliki kekuasaan usaha terlalu besar, dan jika koperasi tidak mengalami persaingan,
bagaimana bisa sehat? Tingkat kedua, kasus pupuk menggambarkan keterbatasan wewenang
politik atau pengaruh bisnis pertanian swasta, yang secara ekonomis sangat tergantung
pada negara. Para pedagang swasta formal, pada dasarnya pelaku monopoli yang
diberi wewenang, mereka meiliki pergantian ekslusif dengan Pusri untuk mendapatkan
hak-hak distribusi di propinsi tertentu, dimana di dalamnya termasuk orangorang
Kadin sendiri
Hirchman,
dalam pengamatannya menyatakan bahwa, “Sebagian besar negarnegara Asia
menetapkan beras sebagai komoditis utama pertanian dan merupakan komponen
penting dalam kebijakan pembangunan umum.” Memang benar bahwa pejabat pemerintah
pusat merupakan pengambil kebijakan utama pada bisang pertanian. Namun alat
pemerintah pusat ini tidak mendominasi proses kebijakan. Aktor penting lain
juga termasuk pejabat daerah; produsen yang terorganisir maupun yang tidak
terorganisir, perantara dan konsumen; anggota DPR, media massa dan komunita
intelektual. Pengaruh yang dimiliki kelompok di luar pemegang kekuasaan pada
proses pembuatan keputusan sering tidak langsung dan banyak bergantung pada
persepsi, keyakinan dan kepentingan kelompoknya.
Kesimpulan
Dari
pembahasan tersebut di atas menunjukkan adalah adanya suatu pola dominasi
pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan yang diperkuat dengan ideologi korperatif
dimana bisnis yang lemah dan sektor koperasi diatur oleh negara, yang nampaknya
berpihak pada kepentingan masyarakat. Dari ketiga kasus tadi mnunjukkan suatu
pola konflik dalam birokrasi tentang kebijakan-kebijakan tertentu dan implementasinya
yang sangat erat dengan perwakilan petani yang efektif dan kepentingan non
birokrasi serta kepentingan lokal.
Memang
konsekuensi dari ketelibatan pewmerintah yang mengakar dalam penetapan
kebijakan harga khususnya beras, sama-sama mengakibatkan keberhasilan dan kegagalan
performa pertanian dalam menyumbangkan (potensi) pada negara. Oleh karena itulah
sehingga dapat menyebabkan diterapkannya kebijakan harga yang berbeda-beda pada
setiap produk/hasil pertanian. Karena kebijakan harga sangat penting dalam menentukan
harga produk pertanian khususnya beras selama panen, maka kita perlu mengadakan
penelitian harga produk pertanian bukan berdasarkan teori pasar murni tetapi berdasarkan
teori negara. Kenapa pemerintah suatu negara menerapkan kebijakan harga produk
pertanian yang berbeda yang mengakibatkan pola pengembangan desa dan pertanian
saling bertentangan? Dalam hal ini perlu memperhatikan analisis Neoklasik pada
pasar yang terdiri dari observasi distorsi harga, menghitung biaya sosialnya,
dan perubahan yang terjadi. Sebaliknya distorsi ini harus dipahami menurut
realitas sosial dan historis dinamisnya bila usulannya bertujuan untuk
melibatkan keterlibatan politisi.
Pola dominasi
pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan diperkuat dengan adanya ideologi
korporatis dimana bisnis yang lemah dan sektor koperasi diatur oleh negara,
yang nampaknya berpihak pada kepentingan masyarakat sehingga suatu pola konflik
dalam birokrasi tentang kebijakan-kebijakan tertentu dan implementasikan yang sangat
erat dengan perwakilan petani yang efektif dan kepentingan non birokrasi serta kepentingan
lokal.
Sumber : Abdullah Said. (2014) Campur Tangan Pemerintah Dalam Penetapan Harga Dasar Gabah. Tersedia : http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/11Campur%2520Tangan%2520Pemerintah%2520Dalam%2520Penetapan%2520Harga%2520Dasar%2520Gab.pdf . 21 Oktober 2014 Jam 13.30
Sumber : Abdullah Said. (2014) Campur Tangan Pemerintah Dalam Penetapan Harga Dasar Gabah. Tersedia : http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/11Campur%2520Tangan%2520Pemerintah%2520Dalam%2520Penetapan%2520Harga%2520Dasar%2520Gab.pdf . 21 Oktober 2014 Jam 13.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar